Oleh: benmashoor | 14 Agustus 2008

Yayasan Pendidikan Jamiat Kheir

Sebagaimana telah diketahui bahwa sejak tanggal 17 Oktober 1919, Jamiat Kheir resmi menjadi suatu yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan. Diantara pengurus pertama yayasan pendidikan Jamiat Kheir ialah Abubakar bin Ali Syahab, Abdullah bin Husein Alaydrus, Ali bin Abdurrahmah al-Habsyi, Abubakar bin Muhammad al-Habsyi, Abubakar bin Abdullah Alatas, Idrus bin Ahmad Syahab dan Ahmad bin Abdullah Basalamah. Diantara pengurus tersebut beberapa diantaranya pernah menjadi pengurus organisasi Jamiat Kheir, yaitu Abubakar bin Ali Syahab dan Idrus bin Ahmad Syahab.

Jika pada Anggaran Dasar pertama berdirinya Jamiat Kheir hanya sampai 29 tahun lamanya, maka dalam pasal dua disebutkan bahwa yayasan pendidikan Jamiat Kheir didirikan untuk selama-lamanya, dan para pengurus tidak dapat diperkenankan untuk mengakhiri berdirinya yayasan ini. Nampak bahwa Jamiat Kheir yang telah berubah statusnya ini memang dimaksudkan untuk melanggengkan kelangsungan hidupnya, setidaknya dari para pengurus yang tidak diperkenankan untuk membubarkannya. Selanjutnya dinyatakan bahwa tujuan dari berdirinya yayasan ini adalah :

a. Mendirikan satu atau lebih sekolah untuk pendidikan Arab di Indonesia atau di Hadramaut…

b. Dalam hal karena satu dan lain alasan, maksud dan tujuan yayasan pada sub a tidak atau tidak lagi dapat diadakan, mendirikan satu atau lebih sekolah untuk pendidikan Islam bagi orang-orang bumi putera…

c. Juga dalam hal dimaksud dan tujuan yang diuraikan dalam sub b tidak atau tidak lagi dapat dilaksanakan, maka untuk membantu atau mendirikan masjid.

Setelah sekolah Jamiat Kheir menjadi yayasan, maka semakin harumlah nama Jamiat Kheir di kalangan kaum muslimin, khususnya masyarakat Islam Jakarta yang pada saat itu benar-benar sangat membutuhkan sarana pendidikan yang bersifat keagamaan.

Pengurus Jamiat Kheir melihat sarana pendidikan yang berada di Pekojan sudah tidak dapat lagi menampung arus calon murid yang setiap tahun semakin meningkat, tergugah untuk mencari lokasi yang lebih repsentatif. Dari Pekojan Jamiat Kheir menempati lokasi baru di jalan Karet Weg Tanah Abang (sekarang Puskesmas Kebon Kacang). Di karenakan tempat tersebut akan dipergunakan untuk rumah sakit oleh pemerintah Belanda, maka Atas prakarsa sayid Abubakar bin Muhammad al-Habsyi pada tahun 1923, sekolah Jamiat Kheir menempati lokasi baru seluas 3000 meter. Setelah tanah tersebut dibangun, maka yayasan pendidikan Jamiat Kheir menjadikan gedung tersebut sebagai pusat kegiatannya hingga sekarang.

Atas ide dari sayid Ahmad bin Abdullah al-Seggaf , maka pada tahun 1924 didirikan bangunan untuk kos para pelajar yang sering disebut Internaat. Maksud diadakannya internaat supaya melindungi dan mendidik serta membiasakan adat yang baik menurut ajaran agama kepada semua pelajar. Biaya yang tentukan oleh internaat Jamiat Kheir ini sebesar 30 gulden sebulan. Dalam internaat, mereka diarahkan dan dibimbing agar dapat mengisi waktu dengan kesibukan yang bermanfaat untuk jiwa maupun raganya. Internaat Jamiat Kheir dibuka pada tanggal 15 Mei 1924 dengan menempati dua buah rumah sederhana di jalan Karet nomor 72. Pada tanggal 26 Maret 1929, usaha lain yang dilakukan yayasan membeli sebidang tanah seluas 2500 meter di daerah Kebon Melati Tanah Abang yang kemudian dibangun Madrasah Ibtidaiyah Bagian Putri.

Pada tahun-tahun berikutnya Jamiat Kheir menkonsentrasikan kegiatannya di bidang pendidikan. Rabithah Alawiyah yang berdiri pada tahun 1928 melanjutkan sebagian tujuan perkumpulan Jamiat Kheir. Diantara beberapa orang pendiri Rabithah Alawiyah adalah pengurus Jamiat Kheir, diantaranya ialah Muhammad bin Abdurrahman Syahab dan Idrus bin Ahmad Syahab. Selain pengurus Jamiat Kheir, diantara pendiri Rabithah Alawiyah terdapat pula tokoh penting Jamiat Kheir seperti Abubakar bin Muhammad Al-Habsyi. Di tahun 1931, pendiri dan tokoh tersebut mendirikan panti asuhan yang dinamakan ‘Wakaf Rabithah Alawiyah Darul Aitam’. Siswi dari Daarul Aitaam pertama yang dibiayai oleh Rabithah Alawiyah untuk menempuh pendidikan di Jamiat Kheir ialah syarifah Qamar dengan biaya sebesar 15 gulden sebulan.

Pada tahun 1925 pemerintah mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak terhadap aktivitas pendidikan agama Islam yaitu bahwa tidak semua orang boleh memberikan pelajaran agama (mengaji). Peraturan itu disebabkan oleh banyaknya organisasi pendidikan Islam yang tumbuh setelah Jamiat Kheir yang didirikan oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah, al-Irsyad Nahdhatul Ulama dan lainnya. Hal itu berlanjut dengan dikeluarkannya peraturan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah yang akhirnya akan menjadi ancaman kelanggengan kekuasaan Belanda di Indonesia. Diantara aturan itu adalah menjaga dan melarang pelajaran agama diajarkan di sekolah umum.

Pada tahun 1934 dibentuk panitia perbaikan lembaga pendidikan Alawiyin yang beranggotakan Ahmad bin Abdullah al-Saqqaf , Ali bin Abubakar bin Yahya, Abdullah bin Salim Alatas, ketiganya dari Batavia, Idrus bin Umar al-Masyhur dari Surabaya, dan Syaikhan bin Alwi Syahab dari Palembang. Panitia tersebut pertama kali mengadakan muktamarnya di Pekalongan pada bulan Maret yang dihadiri oleh 78 utusan lembaga pendidikan Alawiyin yang tersebar ke seluruh Indonesia diantaranya dari Pekalongan, Tegal, Cirebon, Cianjur, Garut, Kendal, Betawi, Jatiwangi, Kuningan, Pemalang, Semarang, Lasem, Magelang, Yogyakarta, Solo, Surabaya, Bondowoso, Gresik, Bangil, Situbondo, Malang, Jembrana, Sumba, Banjarmasin, dan Palembang. Diantara hasil keputusan muktamar itu, peserta sepakat masih pentingnya pengetahuan umum yang telah diberikan kepada siswa, akan tetapi hal itu jangan sampai menggangu kurikulum pelajaran yang sudah berjalan khususnya pelajaran agama dan bahasa Arab.

Diantara para pengajar yang turut andil dalam memberikan kemajuan kepada yayasan pendidikan Jamiat Kheir ialah Ahmad bin Abdullah al-Saqqaf, Umar bin Saqaf al-Saqqaf, Muhammad bin Ahmad bin Semith, Ali bin Abubakar bin Yahya, Muhammad Dhiya bin Ali Syahab, Abdullah Arfan Baraja, Zainal Abidin bin Ali al-Habsyi, dan lainnya.

Kemajuan Jamiat Kheir sebagai yayasan pendidikan terhambat dengan terjadinya perang dunia pertama pada tahun 1939 dan situasi lebih parah lagi ketika kedatangan tentara Jepang di Jakarta pada tahun 1942, hal ini membuat Jamiat Kheir sedikit demi sedikit berkurang aktivitasnya bahkan nyaris tidak ada kegiatan belajar mengajar. Setelah mendapatkan posisi yang kuat, Jepang mulai menutup sekolah-sekolah swasta dan sekolah-sekolah Arab di Jakarta. Kemudian disusul lagi dengan keluarnya dekrit Letnan Jenderal Imamura panglima pertama di Jawa, berisi larangan semua aktivitas yang berhubungan dengan politik Indonesia, demikian juga melarang kegiatan diskusi dan organisasi yang berhubungan dengan administrasi politik negeri.

Sekolah-sekolah swasta yang ditutup, baru dibuka kembali pada bulan April 1942, yaitu setelah kaum muslimin mengadakan protes terpadu atas ditutupnya sekolah-sekolah tersebut. Tidak demikian nasib yang dialami oleh kaum muslimin keturunan Arab Indonesia, sekolah-sekolah mereka mendapat peraturan tersendiri, karena dalam pandangan Jepang pengaruh Arab sama mengganggu dan asingnya dengan pengaruh Belanda.

Masyarakat Arab yang merasa Indonesia ini merupakan tanah dan tempat kelahirannya sudah barang tentu tidak menerima atas diskriminasi dan pandangan Jepang terhadap diri mereka. Protes masyarakat Arab pun tidak terelakkan terhadap penguasa baru ini. Setelah melalui perdebatan diantara kedua belah pihak, akhirnya pemerintah mengizinkan kembali dibukanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh masyarakat Arab, tetapi dengan syarat bahasa Jepang harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.

Karena kecurigaan Jepang terhadap pengaruh Islam umumnya dan bahasa Arab khususnya sangat mendalam, maka kantor Pendidikan Daerah Istimewa Jakarta (Tokubestushie) mengeluarkan peraturan baru, yang isinya melarang pengajaran bahasa Arab di semua sekolah-sekolah swasta, terutama sekolah masyarakat Arab yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar pelajaran umum.

Peraturan tersebut benar-benar telah memancing kemarahan kaum muslimin, karena bagi mereka dilarangnya pengajaran bahasa Arab sama artinya dengan melarang belajar alquran khususnya dan pelajaran Islam umumnya. Di Jakarta, pengurus Jamiat Kheir dan para pengurus madrasah lainnya bersama-sama mendatangi kantor Pendidikan Daerah, mereka mengharapkan agar peraturan larangan pengajaran bahasa Arab segera dicabut kembali. Tidak lama kemudian, yaitu setelah Jepang menyadari bahwa tidak mungkin mengikat hak muslim untuk mengajarkan alquran, Jepang pun mencabut peraturan tersebut.

Memasuki tahun 1943, pengawasan sekolah-sekolah lebih diperketat, demikian pula izin untuk mendirikan sekolah harus diperoleh dari seksi Pendidikan Kantor Kabupaten. Untuk mencapai Nipponisasi, pada bulan Mei 1943 pemerintah Jepang mengeluarkan peraturan lagi, yaitu larangan pengajaran agama yang tidak wajib di sekolah-sekolah lanjutan negeri. Pola peraturan yang bermacam-macam terus bermunculan, terutama yang berhubungan dengan pendidikan. Pada tanggal 1 Juli 1943 pemerintah militer mengeluarkan dekrit, yang isinya semua pendidikan harus di atur oleh pemerintah. Dengan keluarnya dekrit tersebut bisa jadi perkembangan selanjutnya pada saat-saat tertentu kurikulum sekolah diatur dari atas, dan bisa juga terjadi pemerintah akan memecat guru-guru yang mereka tidak sukai.

Untuk lebih mempercepat proses Nipponisasi di Indonesia, maka pemerintah Jepang mengatur kurikulum yang ditujukan kepada semua sekolah, baik sekolah umum maupun madrasah. Kurikulum yang diatur pemerintah tersebut, bahasa Jepang dijadikan sebagai pelajaran pokok. Dan setelah Jepang berhasil mengatur kurikulum di setiap sekolah, kemudian mereka memaksa kaum muslimin, termasuk di dalamnya para ulama untuk ber-saikerei, yaitu membungkukkan badan kearah matahari terbit setiap pagi. Pemaksaan bersaikerei tersebut, tidak hanya dilakukan dalam masyarakat dan tempat-tempat pertemuan, akan tetapi murid-murid sekolah pun diharuskan.

Para pengurus Jamiat Kheir melihat kondisi pendidikannya yang secara terus menerus mendapat tekanan melalui peraturan dari pemerintah, segera mengambil sikap, yaitu mengadakan rapat bersama para guru. Dari hasil pertemuan tersebut, mereka sepakat untuk sementara waktu kegiatan yayasan Jamiat Kheir dihentikan, dan dibuka kembali menunggu setelah situasi tenang.

Dengan dihentikannya sementara kegiatan Jamiat Kheir, bukan berarti aktivitas para pengurus, anggota dan pelajar Jamiat Kheir juga terhenti, banyak pelajar Jamiat Kheir yang menjadi anggota Tentara Pelajar. Para pengurus memfokuskan untuk bersama-sama berjuang dengan rakyat Indonesia terhadap penjajahan Jepang. Di bawah pimpinan Muhammad Dhiya Syahab, gedung sekolah Jamiat Kheir dijadikan tempat pelayanan dan penampungan korban perang (PEKOPE). Kegiatan Jamiat Kheir membantu para pejuang kemerdekaan Indonesia diketahui oleh tentara Jepang, akibatnya banyak harta benda pengurus Jamiat Kheir yang dirampas bahkan sebagian kitab dan arsip milik Jamiat Kheir dibakar dan sebagian lagi diangkut oleh penjajah Jepang ke negerinya, tidak selembarpun arsip yang tertinggal di gedung Jamiat Kheir. Di samping itu, Jepang memperlakukan pula pembatasan aktivitas kegiatan Jamiat Kheir dan para pengurusnya. Semua perlakuan Jepang ini benar-benar menghancurkan Jamiat Kheir.

Dengan demikian jelaslah, bahwa perkembangan Jamiat Kheir pada masa pendudukan Jepang tidak banyak mengalami perkembangan, bahkan sebaliknya. Di masa penjajahan Belanda walaupun Jamiat Kheir mendapat pengawasan yang ketat dari pemerintah, namun kegiatannya terus berjalan, bahkan mengalami perkembangan, baik fisik maupun aktivitasnya. Sedang pada masa pendudukan Jepang, kegiatan Jamiat Kheir dapat dikatakan kembang-kempis. Hal ini disebabkan adanya kebijakan politik pemerintah Jepang yang sangat menekan kepada semua sekolah-sekolah swasta khususya sekolah yang didirikan oleh masyarakat Arab.

Dengan susah payah akhirnya pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia berhasil meraih kemerdekaannya sendiri, tanpa meminta belas kasihan pemerintah Jepang atau bangsa lain. Kemerdekaan Indonesia melahirkan kehidupan baru di segala bidang, termasuk pendidikan. Setelah Indonesia merdeka, bangsa Indonesia sendiri secepatnya mengubah sistem pendidikan dan menyesuaikannya dengan keadaan baru sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat. Maka, diperlukan sistem pendidikan nasional yang berdasarkan eksistensi masa lampau, masa kini dan kewaspadaan terhadap perkembangan ke depan.

Sekolah-sekolah yang ditutup pada zaman Jepang dibuka kembali. Demikian pula dengan yayasan pendidikan Jamiat Kheir. Pengurus yayasan segera memanggil kembali guru-guru dan murid-muridnya yang telah lama sudah tidak mengajar dan mengikuti pelajaran. Jamiat Kheir terpaksa harus merangkak dari bawah, karena banyak murid-murid tersebut, terutama mereka yang dating dari jauh tidak mendaftarkan diri kembali. Namun begitu, pada awal dibuka kembali sekolah, banyak murid-murid baru yang mendaftarkan dirinya, terutama dari Jakarta. Usaha untuk membangun kembali Jamiat Kheir sedikit demi sedikit dilakukan oleh para pengurus dan simpatisan.

Pada tahun 1946 dibentuklah Departemen Agama yang antara lain mengurusi pengajaran agama di sekolah negeri dan swasta, pengajaran umum di madrasah dan penyelenggaraan pendidikan guru agama (PGA). Masalah pendidikan Islam disusun oleh Badan Pekerja Komite Nasional Pusat (BPKNP), yang merekomendasikan bahwa pengajaran bahasa Arab tidak dibutuhkan lagi. Berdasarkan rekomendasi itu, pendidikan Islam dibatasi pada pengajaran agama di sekolah-sekolah mulai kelas empat, dalam alokasi waktu seminggu sekali, dan tidak termasuk pelajaran bahasa Arab. Menyusul dikeluarkannya Undang-Undang Pendidikan tahun 1950, yang memuat peraturan pembatasan pendidikan agama, akan tetapi Jamiat Kheir tetap melaksanakan pelajaran bahasa Arab untuk menjaga kualitas lulusannya.

Untuk mengantisipasi kebutuhan guru agama yang dapat berbahasa Arab dan menampung para lulusan yang akan melanjutkan ke tingkat yang lebih tinggi, pada tahun 1954 yayasan pendidikan Jamiat Kheir membuka sekolah Mualimin-Mualimat atau Pendidikan Guru Agama (PGA) 4 tahun. Sampai tahun 1965, proses belajar mengajar di sekolah Jamiat kheir berjalan baik hingga terjadinya peristiwa G30S PKI, kegiatan belajar mengajar agak terganggu dengan banyaknya siswa Jamiat Kheir yang ikut dalam gerakan Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia untuk menentang komunis. Di samping itu juga pada akhir tahun enam puluhan, satu persatu pengurus Jamiat Kheir mengundurkan diri karena kesibukannya.

Dalam bidang pendidikan pengurus dibantu oleh Syaichan Ahmad al-Qadri sebagai kepala madrasah Ibtidaiyah putra merangkap sebagai kepala madrasah Tsanawiyah yang dibuka pada tahun 1968, serta Anis Alaydrus sebagai kepala madrasah Ibtidaiyah putri, sementara Pendidikan Guru Agama 4 tahun dipimpin oleh Abdullah Ahmad al-Saqqaf. Di samping itu terdapat pula nama seperti Ali Ahmad al-Saqqaf yang memimpin perpustakaan Jamiat Kheir.

Pada tahun 1971, Muhammad Dhiya Syahab mengundurkan diri sebagai ketua yayasan karena mendapat tugas dari Rabithah Alam Islami yang berkedudukan di Saudi Arabia. Setelah kepengurusan dipimpin oleh H. Abdurrahman, terjadi beberapa perubahan diantara perbaikan kesejahteraan guru, pengembangan PGA 4 tahun menjadi PGA 6 tahun, pembukaan madrasah Aliyah pada tahun 1975, dan kegiatan majlis ta’lim mingguan yang pada akhirnya ditutup karena situasi politik yang berkembang. Usaha pemerintah untuk lebih meningkatkan mutu madrasah agar sejajar dengan sekolah-sekolah umum yang sederajat mulai diterapkan oleh pemerintah berdasarkan Surat Keputusan 3 Menteri tahun 1974 yang mempunyai tujuan agar lulusan sekolah-sekolah agama khususnya madrasah, bisa menyesuaikan diri dengan alam yang telah maju. Di satu sisi pengurus menerima perubahan pengalokasian kurikulum antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama diberikan di madrasah berbanding 70 % (umum) dan 30 % (agama), di sisi lain pengetahuan agama khususnya dalam bidang bahasa Arab yang menjadi daya tarik Jamiat Kheir mulai tahun itu semakin hari semakin pudar. Pengurus berusaha untuk menjaga kualitas bahasa Arab siswa dengan membuka lembaga pengembangan bahasa Arab, bahkan di tingkat perguruan tinggi Jamiat Kheir membuka Akademi Bahasa Arab.

Karena banyak siswa yang berminat sekolah di Jamiat Kheir pada tahun 1976 pengurus berusaha untuk membangun gedung menjadi dua lantai. Kepengurusan tersebut mencatat adanya beberapa perkembangan pendidikan seperti dibukanya lembaga pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai Institut Agama Islam Jamiat Kheir. Karena adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan yang mengharuskan penghapusan sekolah kejuruan seperti PGA, maka PGA Jamiat Kheir berubah menjadi madrasah Tsanawiyah, hal ini terjadi pada tahun 1984. Sampai periode kepengurusan terakhir, beberapa perubahan terus dilakukan demi peningkatan mutu pendidikan Jamiat Kheir.


Kategori