Oleh: benmashoor | 25 Juli 2008

Ali Al-Uraidhi

Guru dan muridnya

Imam Ali bin Ja’far al-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein bin Ali bin Abi Thalib mempunyai gelar Abu Hasan[1], beliau adalah mataharinya ahlul-bait dan bulannya keturunan Rasulullah saw. Nama lain beliau adalah Ali al-Uraidhi yaitu nama tempat yang terletak empat mil dari kota Madinah al-Munawwarah. Dalam kitab Taj al-Arus, al-Zubaidi menyebutkan bahwa Uraidh adalah suatu wadi di Madinah sebagaimana daerah wadi Jubeir di Hadramaut.[2]

Imam Ali al-Uraidhi adalah anak bungsu dari anak-anak Imam Ja’far al-Shodiq, ia masih kecil ketika ayahnya wafat. Semasa hidupnya ia menuntut ilmu kepada ayahnya dan saudaranya Imam Musa al-Kadzim serta Husin bin Zaid bin Ali Zainal Abidin. Sedangkan murid beliau adalah anaknya sendiri Muhammad dan Ahmad serta cucu beliau Abdullah bin Hasan bin Ali al-Uraidhi dan cucu saudaranya Ismail bin Muhammad bin Ishaq bin Ja’far al-Shodiq serta ahli qiroat Imam al-Bazi. Imam Ali al-Uraidhi dikaruniai umur panjang, sehingga dapat memberikan cucu kepada ayahnya.

Perawi hadits yang tsiqat

Imam Ali al-Uraidhi adalah seorang pemimpin kaum syarif dan syaikhnya Bani Hasyim di kota Uraidh, beliau tempat bertanya berbagai masalah agama. Beliau hidup sampai masa al-Hadi Ali bin Muhammad bin Ali bin Musa al-Kadzim. Menurut syekh al-Thusi, Imam al-Uraidhi sangat dekat dengan ayahnya al-Shadiq, saudaranya Musa al-Kadzim dan anak saudaranya Ali al-Ridho. Di samping itu, Imam al-Uraidhi juga merupakan sahabat bagi Muhammad al-Jawab bin Ali al-Ridho. Berkata al-Razi dalam kitabnya al-Rijal yang menceritakan tentang para perawi. Dalam bab tentang Imam Musa al-Kadzim bin Ja’far, kakek Imam al-Jawad, dia mengatakan, ‘Musa bin Ja’far bin Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Abli bin Abi Thalib meriwayatkan hadits dari ayahnya, dan anaknya Ali bin Musa serta saudaranya Ali bin Ja’far meriwayatkan darinya. Dalam kitab al-Fihrisat, berkata al-Hafidz al-Razi mengenai Imam al-Uraidhi, ‘Dia adalah seorang perawi terpercaya (tsiqat) dan ulama abrar, seorang imam di antara imam-imam kaum muslimin yang telah dipersaksikan oleh para tokoh ilmu dan riwayat dari berbagai madzhab tentang kesucian dan ke-tsiqat-annya’. Hal itu dikuatkan oleh al-Dzahabi dalam kitabnya al-Mizan dan al-Kasyif. Salah satu sanad hadits yang dinukil dalam kitab al-Mizan, berbunyi [3]:

Sesungguhnya Nabi saw memegang tangan al-Hasan dan al-Husein, beliau berkata, ‘Siapa yang mencintai aku, kedua anak ini dan kedua orang tuanya, maka ia bersama aku berada pada tempatku pada hari kiamat’.

Berkata al-Hafidz Ahmad bin Hajar al-Asqalani dalam kitabnya al-Taqrib, bahwa Ali bin Ja’far bin Muhammad bin Ali ibnu Husein termasuk sepuluh ulama besar.[4] Imam al-Yafi’ dalam Tarikhnya dan al-Qadhi Iyadh dalam kitabnya al-Syifa’, juga merawikan hadits yang cukup panjang dari Imam al-Uraidhi tentang keistimewaan Nabi saw. Begitu pula Imam Ahmad dalam Musnadnya dan al-Turmudzi dalam kitab Sunannya yang meriwayatkan hadits mengenai kecintaan kepada keluarga Nabi Muhamad saw.[5] Beliau memiliki kemampuan besar, terpercaya menyusun sebuah kitab manasik dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saudaranya, Musa al-Kadzim.[6] Syaikh al-Mufid mengatakan dalam kitabnya al-Irsyad, Dia termasuk orang yang memiliki keutamaan, wara’, sebagaimana disepakati oleh semua orang. Beliau seorang yang tidak menyukai dirinya tersohor dan lebih banyak menghindari sifat-sifat yang membawa kepada hal-hal tersebut.

Imam al-Uraidhi Dan Muhammad al-Jawad.

Diriwayatkan dari al-Husain bin Muhammad, dari Muhammad bin Ahmad al-Nahdi, dari Muhammad bin Khalad al-Shaiqal, dari Muhammad bin al-Hasan bin Ammar, ia berkata, ‘Aku sedang duduk-duduk di Madinah bersama Ali bin Ja’far bin Muhammad. Aku telah tinggal bersamanya selama dua tahun. Aku sedang menuliskan darinya apa yang didengarnya dari saudaranya, yakni Abu al-Hasan, ketika tiba-tiba Abu Ja’far Muhammad bin Ali al-Ridha masuk menemuinya di masjid, yaitu masjid Rasulullah. Maka Ali bin Ja’far lalu berdiri bangkit menyambutnya tanpa sepatu ataupun selendang, lalu mencium tangannya[7], menghormatinya. Abu Ja’far berkata kepadanya ; Wahai paman, duduklah, semoga Allah merahmatimu. Ali bin Ja’far menjawab : Wahai junjunganku, bagaimana aku bisa duduk sedangkan engkau berdiri?. Maka ketika Ali bin Ja’far telah duduk kembali di tempatnya, sahabat-sahabatnya bertanya, engkau adalah paman dari ayahnya, mengapa engkau berbuat begitu terhadapnya? Ali bin Ja’far menjawab : Jika Allah swt tidak memberikan hak kepada orang tua ini, katanya sambil memegang jenggotnya, tapi memberikannya kepada pemuda itu dan menempatkannya pada kedudukan di mana Dia telah menempatkannya, apakah aku harus mengingkari keutamaannya?[8]

Anak keturunannya.

Anak-anak Imam Ali dikenal dengan al-Uraidhiyun yang banyak mendiami daerah Uraidh, Kuffah dan Qum. Diantara anak-anaknya[9] :

a. Ja’far, mendapat keturunan dari anaknya Ali.

b. Hasan,  mendapat keturunan dari anaknya Abdullah yang terdapat di Madinah, Mesir, Iraq dan negeri lainnya.

c. Ahmad al-Sya’roni, mendapat keturunan dari anaknya Muhammad yang terdapat di Iraq yang dikenal dengan Bani Jiddah, Basiron dan Thobariyah.

d. Muhammad al-Naqib.

Imam al-Uraidhi hidup kurang lebih seratus tahun[10]. Beliau meninggal pada tahun 210 hijriyah dan dikuburkan di Uraidh, Madinah al-Munawaroh.


[1] Ibnu Anbah, Umdah al-Tholib, hal. 332.

[2] Yusuf bin Abdullah Jamalullail, Sajarah al-Zakiyah, hal. 436.

[3] Ahmad bin Zein al-Habsyi, Syarah al-Ainiyah, hal. 127.

[4] Dalam fikih atau hokum, terdapat empat ulama madzhab besar, yakni Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali. Selain empat ulama tersebut, terdapat pula ulama-ulama madzhab lainnya yang dalam perkembangan selanjutnya tidak sebesar kempat ulama madzhab terdahulu seperti al-Tsauri, al-Nakha’i, al-Thabari, al-Auza’i, al-Zahiri.

[5] Salah satu hadits itu adalah yang ditulis oleh al-Dzahabi dalam kitabnya al-Mizan seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dengan redaksi bahasa yang sedikit berbeda.

[6]Ibnu Anbah, loc cit.

[7] Dalam kitab Bughya al-Mustarsyidin halaman 296,karangan Habib Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur, mencium tangan seorang yang masih kecil adalah sebagai tabarruk, apalagi yang dicium tangan keturunan Rasulullah saw. Imam al-Uraidhi mencium tangan Imam Muhammad al-Jawad karena saat itu beliau masih kanak-kanak yang belum mencapai masa pubertas.

[8] Ali Muhammad Ali. Imam Muhammad al-Jawad Dan Imam Ali al-Hadi, hal. 53. Muhammad bin Abubakar al-Syilli dalam kitabnya al-Masra’ al-Rawi halaman 80, dengan redaksi yang berbeda.

[9] Al-Masyhur, Op Cit, Jilid 1, hal.45.

[10] Muhammad bin Ali al-Khirrid, al-Ghuror, hal. 332.


Kategori